Sejumlah Aktivis Persoalkan Kedudukan MPR dalam Hukum Tata Negara Indonesia

JAKARTA, HUMAS MKRI – Sejumlah aktivis yang tergabung dalam Langkah Juang Pemulihan Kedaulatan Rakyat mengajukan uji materiil Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3) ke Mahkamah Konstitusi (MK).  Trijono Hardjono, Muhammad Afif Syairozi, Salyo Kinasih Bumi, Hendrikus Rara Lunggi, Muhammad Fajar Ar Rozo, Abdul Ghofur, Frederikus Patu tercatat sebagai Pemohon Perkara Nomor 8/PUU-XXI/2023 menguji Pasal 7 ayat (1) huruf b dan Penjelasan; Pasal 18 huruf b dan Penjelasan. Sidang perdana dari perkara tersebut ini digelar di Ruang Sidang Panel MK pada Selasa (24/1/2023) dengan Majelis Sidang Panel yang terdiri atas Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah, Manahan M.P. Sitompul, dan Enny Nurbaningsih.

Pasal 7 ayat (1) huruf b menyatakan, “Jenis dan hierarki perarutan perundang-undangan terdiri dari b. Ketetapan Majelsi Permusyawaratan Rakyat,” dan Penjelasan Pasal 7 ayat (1), “…yang masih berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 …”. Pasal 18 huruf b menyatakan, “Dalam penyusunan prolegnas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, penyusunan daftar rancangan undang-undang didasarkan atas b. Perintah Ketetapan Majelis Pemusyawaratan Rakyat,” Penjelasan Pasal 18 huruf b,”… yang masih berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4….”.

Para Pemohon melalui Trijono Hardjono selaku wakil prinsipal mengatakan perjuangan mereka bertujuan ingin memulihkan kedaulatan rakyat di dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Dengan kata lain,  berkaitan dengan kedudukan MPR tersebut sejauh ini usai amendemen UUD 1945 hanya dijadikan sebagai sebuah Forum Komunikasi antara DPR dan DPD. Selain itu, para Pemohon juga menilai adanya pembatasan pemberlakuan Ketetapan MPR dalam ruang lingkup Penyusunan Program Legislasi Nasional sebagaimana Penjelasan Pasal 18 huruf b UU P3 ini berakibat pada ketidakpastian hukum. Sebab, sambung Trijono, tindakan manipulatif pembentuk undang-undang terhadap pembatasan atas keberlakuan Ketetapan MPR ini seolah-olah MPR tidak lagi memiliki kewenangan konstitusional dalam memutus sebuah produk hukum.

“Para Pemohon memohon agar Mahkamah menyatakan sah untuk berlaku sementara Naskah Undang-Undang Dasar yang disusun oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945, sebagai Hukum Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia; menyatakan sah berlaku sementara Pemerintahan Negara, DPR, dan DPD; serta Pemerintahan Daerah dan DPRD hasil Pemilu 2019,” sebut Trijono membacakan salah satu bunyi petitum permohonannya.

Sistematika Permohonan

Hakim Konstitusi Enny dalam nasihat Majelis Sidang Panel ini memberikan beberapa catatan pada para Pemohon, yakni menyikapi sistematika permohonan yang dinilai belum sesuai dengan permohonan yang lazim di MK, mulai dari identitas para Pemohon, kewenangan MK, dan kerugian konstitusional serta permintaan yang diinginkan terhadap pengujian norma yang dimohonkan pada MK. Berikutnya, Enny juga meminta agar para Pemohon pada bagian kedudukan hukum Pemohon membaca putusan MK terdahulu sebagai rujukan kualifikasi dari masing-masing Pemohon yang mengajukan perkara ini. “Hal penting lagi adalah syarat-syarat kerugian konstitusional itu ada 5 syarat dan dalam permohonan ini tidak dicantumkan sama sekali. Jika tidak jelas, maka nanti putusannya NO,” jelas Enny.

Sementara Hakim Konstitusi Manahan dalam nasihatnya mengatakan agar para Pemohon mencermati Peraturan MK Nomor 2 Tahun 2021 terutama Pasal 8 s.d. 10 sudah dijelaskan format permohonan, baik formil maupun materil. Sebisanya para Pemohon juga dapat melakukan konsultasi hukum beracara di MK dengan pihak yang lebih mengerti atas permohonan yang diajukan ke MK.

“Menyoal hierarki UU ini sebenarnya sudah berkaitan dengan kewenangan lembaga lain, apakah ini masalah norma? Sedangkan di MK berkaitan dengan konstitusionalitas norma. Untuk menghindari NO seperti permohonan sebelumnya, maka para Pemohon bisa benar-benar mencermati permohonannya lagi,” sebut Manahan.

Berikutnya, Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah menyarankan agar para Pemohon menguraikan pembedaan antara pengujian Penjelasan Pasal yang diujikan bertentangan dengan UUD 1945 dengan batu uji yang dimintakan Pemohon, sementara permintaan pada Petitum yang tidak sebagaimana mestinya atau tidal lazim disampaikan di MK. “Hal ini agar tidak berakhir dengan NO, maka perbaikannya benar-benar harus dilakukan sehingga permohonan menjadi lebih jelas,” saran Guntur.

Sebelum mengakhiri persidangan, Guntur menyebutkan bahwa MK memberikan waktu selambat-lambatnya hingga Senin, 6 Februari 2023 pukul 11.00 WIB kepada para Pemohon untuk memperbaiki permohonannya. Untuk selanjutnya Kepaniteraan MK akan menjadwalkan sidang kedua yang akan ditentukan kemudian melalui pemberitahuan kepada para pihak. (*)

Penulis : Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Andhini S.F.

 

Source: Laman Mahkamah Konstitusi