Menyoal Penghentian Sementara Tunjangan Sertifikasi Bagi Dosen Pegawai Berstatus Tubel

JAKARTA, HUMAS MKRI – Gunawan A. Tuada dan Abdul Kadir B. yang berprofesi sebagai PNS Kemendikbudristek mengujikan Pasal 51 ayat (1) sepanjang frasa “Dalam melaksanakan tugas keprofesionalanUndang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UU Guru dan Dosen) ke Mahkamah Konstitusi. Sidang pertama Perkara Nomor 111/PUU-XX/2022 yang dilaksanakan Majelis Sidang Panel yang terdiri atas Hakim Konstitusi Saldi Isra, Arief Hidayat, dan M. Guntur Hamzah ini digelar di Ruang Sidang Pleno MK pada Kamis (24/11/2022).

Pasal 51 ayat (1) UU Guru dan Dosen berbunyi, ”Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, dosen berhak: a. peroleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial; b. mendapatkan promosi dan penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja; c. memperoleh perlindungan dalam melaksanakan tugas dan hak atas kekayaan intelektual; d. memperoleh kesempatan untuk meningkatkan kompetensi, akses sumber belajar, informasi, sarana dan prasarana pembelajaran, serta penelitian dan pengabdian kepada. masyarakat; e. memiliki kebebasan akademik, mimbar akademik, dan otonomi keilmuan; f. memiliki kebebasan dalam memberikan penilaian dan menentukan kelulusan peserta didik; dan g. memiliki kebebasan untuk berserikat dalam organisasi profesi/organisasi profesi keilmuan.”

Dalam kasus konkret, para Pemohon menceritakan pemaknaan pasal a quo diwujudkan dengan penghentian sementara pembayaran tunjangan profesi dosen terhitung sejak 2009 hingga 2022. Akibatnya, para Pemohon kehilangan hak keuangannya, sedangkan mereka dalam masa menempuh studi lanjutan pada sejumlah perguruan tinggi di Indonesia atau berstatus tugas belajar (tubel). Penafsiran semata ini tidak didasarkan pada kepentingan terbaik para dosen yang diberi tugas belajar, terutama bagi para dosen yang sedang atau akan menempuh studi lanjut dengan biaya sendiri, parsial, ataupun beasiswa demi menunjang kelancaran dan proses penyelesaian studi. Padahal dosen pegawai pelajar pada semua perguruan tinggi negeri ini tetap dibebankan kewajiban untuk melakukan pengisian Beban Kerja Dosen. Sehingga sepanjang dosen pegawai pelajar yang bersangkutan tetap melakukan hal tersebut, maka dapat dikategorikan memenuhi ketentuan perundang-undangan beban kerja dosen dan ia pun seharusnya dapat tetap diberikan tunjangan sertifikasi dosen.

“Tunjungan profesi dosen merupakan penghasilan yang seharusnya menjadi hak dosen sebagaimana ditentukan dalam Pasal 51 ayat (1) huruf a dan Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang Guru dan Dosen sehingga tidak dapat dihentikan sementara pembayarannya hanya karena kebijakan yang semata tanpa disertai dengan adanya peraturan yang eksplisit dalam peraturan perundang-undangan, terlebih dosen bersangkutan sedang menempuh studi doktoral yang jelas membutuhkan biaya yang besar,” terang Abdul selaku salah satu Pemohon yang menilai pasal a quo bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

Dokumen Bukti

Menanggapi permohonan ini, Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah memberikan nasihat pada para Pemohon. Salah satunya tentang perlu bagi para Pemohon untuk melakukan elaborasi terhadap jenis-jenis tunjangan yang didapatkan oleh seorang dosen, terutama pula terhadap dosen yang menjalani tugas beajar. Selain itu, diharapkan para Pemohon juga dapat menyertakan lembaga-lembaga yang memberikan tunjangan terhadap para dosen yang sedang dalam tugas belajar tersebut. “Sertakan pula dokumen bukti bahwa memang ada kebijakan seperti itu di kementerian lembaga yang terkait,” terang Guntur kepada para Pemohon yang hadir secara daring tanpa didampingi kuasa hukum.

Berikutnya terkait dengan beban kinerja dosen (BKD) yang dinyatakan dalam permohonan, Guntur juga meminta agar disertakan bukti dari pelaksaan sistem tersebut. sehingga terlihat bukti bahwa dosen telah melakukan pekerjaannya serta menjalankan tugas belajarnya di kelas baik secara daring maupun luring. Sementara itu, Hakim Konstitusi Arief Hidayat dalam nasihatnya menyatakan sehubungan dengan status tugas belajar dan izin belajar merupakan hal yang berbeda. Untuk itu, para Pmeohon diharapkan dapat menjabarkan perbedaan perlakuan yang didapatkan yang juga terkait dengan tugas dan tunjangan yang diperoleh dari masing-masing sistem tersebut.

“Oleh karena itu, tolong dikaji lagi apakah betul itu pasal ini yang telah ternyata mengakibatkan diskriminasi atau instansi yang menjalankan aturan pelaksanaannya dengan berpedoman pada peraturan menteri. Jadi, tolong juga dibedakan antara peraturan Menteri Pendidikan dengan peraturan Menteri Agama dan peraturan Menteri Dalam Negeri dalam mengaitkan sistem ini dalam pepberian tunjangan pada para dosen pelajar,” jelas Arief.

Selanjutnya Hakim Konstitusi Saldi Isra memberikan masukan pada para Pmeohon untuk membuatkan argumentasi hukum yang masuk akal dan logika terhadap asalam permohonan yang menyatakan norma a quo bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

“Tugas para Pemohon sekarang memberikan argumentasi yang masuk akal, logis, dan bisa diterima kebenarannya secara akademik. Jika tidak sesuai dengan yang Saudara minta, maka itu melanggar ketentuan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Itu yang harus diuraikan dengan jelas,” kata Saldi.

Sebelum mengakhiri persidangan, Saldi mengatakan bahwa para Pemohon diberikan waktu selama 14 hari setelah usai sidang untuk menyempurnakan permohonan. Naskah perbaikan dapat diserahkan selambat-lambatnya pada Rabu, 7 Desember 2022 pukul 11.00 WIB ke Kepaniteraan MK. (*)

Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: M. Halim

Source: Laman Mahkamah Konstitusi