Tom Ginsburg: MK Tidak Bisa Sendirian dalam Menjaga Demokrasi

 

JAKARTA, HUMAS MKRI – Peran menjaga demokrasi yang konstitusional tidak bisa hanya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) sendiri, namun juga harus melibatkan dan menjadi tanggung jawab seluruh lembaga negara. Hal ini disampaikan oleh Guru Besar Ilmu Politik The University of Chicago dalam acara Contitutional Law Forum 2022 (ConLaf 2022) pada Kamis (18/8/2022). Kegiatan dalam rangka memperingati Hari Konstitusi Republik Indonesia tersebut, merupakan kerja sama MK dengan Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas (PUSaKO Unand) dan International Institute for Democracy and Electoral Assistance (International IDEA).

Tom menyampaikan hal tersebut ketika menceritakan mengenai penegakan demokrasi di Afrika Selatan. Kala itu, ia menyebut Presiden Jacob Zuma dituduh melakukan korupsi. Parlemen Afrika Selatan mengajukan perkara pemakzulan ke MK Afrika Selatan. Namun, kasus pemakzulan Zuma tidak serta-merta diputus begitu saja. MK Afrika Selatan pun meminta keterangan berbagai pihak, di antaranya Komisi Antikorupsi Afrika Selatan. Hingga akhirnya, Zuma mengundurkan diri dari posisinya sebagai presiden pada 14 Februari 2018 akibat mosi tidak percaya yang dikeluarkan parlemen.

“MK Afrika Selatan menilai harus mendengar hasil investigasi dari Komisi Antikorupsi Afrika Selatan. Hal ini menunjukkan demokrasi bisa diselamatkan tidak hanya karena Mahkamah Konstitusi, namun juga MK bekerja sama dengan Komisi Antikorupsi, MK bekerja sama dengan pengadilan negeri, MK bekerja sama dengan lembaga perpajakan, dan seluruh jaringan MK. Tidak bisa dilakukan oleh MK sendirian. MK harus bekerja sama dengan lembaga lain untuk melindungi demokrasi yang konstitusional,” ujar Tom dalam acara yang dipandu oleh Dosen Ilmu Hukum Tata Negara UNAND Feri Amsari tersebut.

Waspada Kaum Populis

Dalam kesempatan tersebut, Tom juga menekankan pentingnya untuk mewaspadai kaum populis. Untuk diketahui, populis adalah penganut dari paham populisme yang mengakui dan menjunjung tinggi hak, kearifan, dan keutamaan rakyat kecil. Menurut Tom, populis yang mengetahui bahwa jika mereka bisa mengendalikan pengadilan, maka mereka akan mengambil langkah ekstra, semisal untuk memperpanjang masa jabatan dan lainnya. Ia mencontohkan masalah yang dialami Amerika Serikat yang biasa disebut populis karismatik.

“Kadang populis itu baik. Kita membutuhkan populis untuk menjalankan sebuah pemilihan terutama untuk mengumpulkan suara. Tapi untuk dipimpin oleh seorang populis dapat membahayakan. Setelah kami cermati di sejumlah negara, bahwa populis benci dengan institusi. Pemimpin yang populis cenderung menilai dirinya mengetahui hal yang terbaik bagi masyarakatnya, maka hanya dibutuhkan dirinya untuk berbicara mewakili rakyat tanpa mengindahkan pihak lain. Mereka anti-pluralis dan Donald Trump seperti ini,” papar Tom dalam acara yang juga dihadiri oleh Rektor UNAND Yuliandri tersebut.

Tom menekankan bahwa populis tidak menyukai institusi dan Mahkamah Konstitusi termasuk dalam sebuah institusi. Berdasarkan penelitian yang dilakukannya, Tom menyebut ada tiga hal yang akan dilakukan para populis jika tidak menyukai sebuah institusi. Pertama, mereka akan mengganti personil di institusi tersebut. Kemudian, mereka akan mengubah kewenangan lembaga negara tersebut.

“Terakhir, mereka akan mengganti prosedurnya. Mengubah kewenangan atau hukum acara dari pengadilan guna mencegah adanya perkara terkait dengan mereka masuk ke pengadilan atau bahkan membuat sebuah perkara yang mereka inginkan masuk ke pengadilan,” urai Tom.

Dalam acara tersebut, hadir pula Hakim Konstitusi periode 2003-2008 dan periode 2015 – 2020 I Dewa Gede Palguna, Dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera (STHI-Jentera) Bivitri Susanti serta Hakim Konstitusi Saldi Isra sebagai pembicara kunci. Hakim Konstitusi Saldi Isra mengatakan bahwa Tom Ginsburg merupakan salah seorang ahli konstitusi yang sangat luas. Banyak para sarjana mengutip tulisannya dalam buku berjudul “Judicial Review in New Democracies: Constitutional Courts in Asian Cases”. Saldi berharap, setelah adanya kegiatan ini Tom Ginsburg akan memberikan banyak waktu untuk menulis perkembangan konstitusi, perkembangan hukum tata negara dan perkembangan MK di Indonesia.

“Di buku yang saya sebutkan tadi  misalnya Ginsburg menulis soal Mongolia, dinamika hukum tata negara di Indonesia, dinamika konstitusi di Indonesia jauh lebih dinamik dibandingkan Mongolia, Singapura dan Malaysia. Tom membuka ruang kepada kita, para peneliti MK dan Scholar untuk menulis artikel tentang Indonesia. Isu Konstitusi Indonesia tidak hanya didominasi oleh expert dari Australia. Jadi kami ingin dengar juga misalnya expert dari Amerika, Eropa melihat perkembangan Konstitusi dan hukum tata negara di Indonesia, setidak-tidaknya 20 tahun terakhir,” ujarnya.

Selain itu, Saldi juga berharap kedatangan Tom dapat memberikan pengalaman di beberapa negara yang pindah dari negara rezim otoriter ke rezim demokrasi bagaimana mempertahankan Konstitusi yang jauh lebih demokratik dalam relatif yang lebih panjang.

Amandemen Konstitusi

Bivitri Susanti membuka materinya dengan pertanyaan; perlukah suatu konstitusi dievaluasi?. Menurutnya, pertanyaan tersebut mengganggu pemikirannya, usai membaca buku berjudul “Assessing Constitutional Performance” yang diedit oleh Tom  Ginsburg dan Aziz Huq. Terlebih, sudah ada beberapa negara yang menerapkannya, baik  yang dimuat di dalam bab-bab buku tersebut, maupun yang dilakukan secara terpisah. Demikian disampaikan oleh Bivitri Susanti dalam acara ConLaf.

Menurut Bivitri, pertanyaan ini seringkali tak dianggap penting karena ada kecenderungan konstitusi dipandang sebagai suatu dokumen pernyataan politik yang mengikuti suatu perubahan politik yang signifikan. Karena itulah, ada berbagai teori mengenai pembentukan konstitusi, misalnya “golden moment. “Ada anggapan, amandemen konstitusi akan mengikuti sebuah peristiwa politik yang penting.

“Sehingga, sebaliknya, pada saat tidak ada peristiwa politik besar yang terjadi, sedangkan ada keinginan besar dari elite politik untuk mengubah konstitusi, maka kita harus memandangnya dengan kecurigaan: ada kepentingan apa di balik ini? Logika sederhana ini pula yang kerap saya gunakan belakangan ini untuk menyoroti wacana mengenai perubahan konstitusi yang masuk ke area politik formal paling tidak sejak 2021 (walaupun perbincangan tentang ini sudah ada sejak 2016?). Apalagi, ada pula satu fenomena yang kerap saya soroti pula, tentang fenomena autocratic legalism. Bagian akhir dari autocratic legalism yang penting untuk disoroti adalah amandemen konstitusi yang ditujukan untuk menghapuskan pembatasan kekuasaan presiden,”ujarnya.

Bivitri menegaskan, ketika ada ide perubahan konstitusi atau evaluasi konstitusi, maka semua harus memikirkan kembali semuanya lebih mendalam. Ia menyebut UUD 1945 ada di sebuah “pertigaan” atau persimpangan jalan menuju tiga arah. Pertama, ada keinginan untuk mengubah lagi konstitusi karena dibutuhkan perbaikan-perbaikan. Dewan Perwakilan Daerah misalnya, mengeluarkan kajian sejak 2008 tentang amandemen kelima. Belakangan, sambungnya, Ketua MPR pada 2021 mengungkapkan keinginannya untuk memasukkan Pokok-Pokok Haluan Negara dalam UUD 1945. Meskipun keinginan ini sudah diubah menjadi “Konvensi Ketatanegaraan, seperti disebut dalam Pidato Ketua MPR pada 16 Agustus 2022.

“Keinginan ini sebenarnya tidaklah surut. Kedua, ada keinginan untuk kembali ke naskah awal UUD 1945 sebagaimana ditetapkan pada 18 Agustus 1945. Keinginan ini terutama disokong oleh kelompok-kelompok politik yang menganggap amandemen UUD pada 1999-2002 adalah dorongan dari negara-negara asing, sehingga menyebabkan demokrasi liberal, meskipun sebenarnya tak kurang banyaknya literatur yang menjelaskan ‘liberal democracy’ versus ‘illiberal democracy’ yang mampu menerangkan ketakutan berlebihan pada demokrasi liberal dan menenangkan jiwa-jiwa nasionalisme yang salah kaprah,” papar Bivitri.  

Selanjutnya, Bivitri menyebut kelompok ketiga yang berada di tengah-tengah. Mereka  menganggap saat ini bukanlah momentum yang tepat untuk melakukan perubahan, karena tidak ada urgensi dibanding dengan banyaknya persoalan lain yang bisa diselesaikan pada level kebijakan.

“Sedangkan kembali ke UUD 1945 naskah awal juga bukan pilihan karena UUD 1945 sebelum diamendemen mengandung banyak sekali kelonggaran pada penguasa dan ketergantungan yang tinggi pada elite politik. Ketergantungan ini bisa dipahami dalam konteks kemerdekaan 1945, dengan masih belum terinstitusionalkannya demokrasi Indonesia yang baru lahir. Namun tak lagi relevan dengan banyaknya aktor politik dan pluralisme yang semakin berkembang. Saya berada pada kelompok ketiga,” tegas Bivitri.

Keniscayaan Perubahan UUD 1945

Dalam kesempatan yang sama, I Dewa Gede Palguna menegaskan perubahan UUD 1945 merupakan keniscayaan. Ia menyebut, dilakukannya perubahan memerlukan alasan yang mendasar. “Alasannya apa? Katanya perubahan yang sekarang telah mengkhianati cita-cita bangsa. Yang mananya berkhianat, cita-cita yang mana dikhianati. Seingat saya, justru perubahan yang dilakukan itu adalah turunan dari pembukaan UUD 1945. Kita tidak perlu melakukan perubahan terhadap UUD 1945,” tegasnya.

Menurut Palguna, perubahan UUD 1945 merupakan kelanjutan dari proklamasi kemerdekaan. “Coba perhatikan kalimat pada Alinea keempat.  Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia. Kemana kalimat ini merujuk? maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia ke proklamasi 17 Agustus 1945 kedalam satu UUD NRI yang berkedaulatan rakyat,”ungkap Palguna di hadapan para undangan.

Palguna juga mengatakan, konstitusi akan menjadi hidup apabila bertemu dengan hakim filsuf yang mampu menerjemahkan semangat yang ada di dalam konstitusi ke dalam pemikiran-pemikiran yang hidup. “Selama MK masih bisa dijaga, saya masih percaya bahwa Indonesia masih bisa diselamatkan,”tegasnya.

Bulan Konstitusi

Dalam kesempatan yang sama, Sekretaris Jenderal MK (Sekjen MK) M. Guntur  Hamzah menyampaikan setiap bulan Agustus dapat dikatakan sebagai “bulan konstitusi” dan terdapat tiga tanggal bersejarah yang berhubungan dengan konstitusi Indonesia.

Pertama, pada tanggal 13 Agustus 2022, MK baru saja merayakan Hari Ulang Tahunnya yang ke-19. Sesuai mandat konstitusional yang diterimanya, MK berfungsi sebagai “the guardian of the Constitution”. Kemudian kedua, pada hari Rabu kemarin, tanggal 17 Agustus, tanggal proklamasi kemerdekaan Indonesia, kita baru saja memperingati Hari Ulang Tahun ke-77 Republik Indonesia. Selanjutnya ketiga, tepat pada hari ini, tanggal 18 Agustus, kita sedang memperingati Hari Konstitusi,”ujar Guntur.

Guntur menyebutkan, penetapan Hari Konstitusi ini didasarkan pada Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 2008 sebagai momentum bersejarah guna memperingati penetapan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945. Menurutnya, perjalanan Konstitusi bangsa Indonesia mengalami dinamika dan pasang surut. Pasca pengesahannya pada 18 Agustus 1945, kita pernah mengganti UUD 1945 dengan Konstitusi RIS Tahun 1949 dan UUD Sementara Tahun 1950.

Kemudian, sambungnya, upaya untuk menyusun UUD baru yang lebih representatif melalui Konstituante hasil Pemilu 1955 juga tidak membuahkan hasil, sehingga kita kembali kepada UUD 1945 setelah dikeluarkannya Dekrit Presiden Tahun 1959. “UUD 1945 baru menemukan momentum politik perubahannya setelah munculnya gerakan reformasi pada tahun 1998. UUD 1945 pada akhirnya diubah melalui empat tahapan dari tahun 1999 sampai dengan 2022. Banyak perubahan fundamental terjadi terhadap isi dari UUD 1945, khususnya dalam konteks penataan ulang kewenangan lembaga-lembaga negara, penyempurnaan sistem pemilihan umum, dan penguatan serta jaminan hak-hak konstitusional warga negara,”jelasnya dihadapan para tamu undangan dan narasumber.

Menurut Guntur, forum akademik yang diselenggarakan hari ini merupakan kerja sama antara Mahkamah Konstitusi dengan IDEA International dan juga Pusat Studi Konstitusi (PUSaKo) Universitas Andalas. “Untuk itu, saya mengucapkan terima kasih atas kerja sama yang telah terjalin dengan MK, tentunya dengan harapan kegiatan-kegiatan akademik sejenis ini dapat terus dilanjutkan di kemudian hari. MK memiliki komitmen tinggi untuk mempertahankan dan mengembangkan atmosfer akademik dengan menyelenggarakan berbagai kegiatan Seminar, Konferensi, dan Simposium, serta kesempatan kolaborasi riset dan magang, hingga penerbitan bermacam publikasi ilmiah, baik berupa buku-buku maupun jurnal,”terang Guntur.

“Atas nama MK, kami mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah memberikan dukungan atas terselenggaranya acara hari ini. Semoga apa yang akan kita diskusikan nanti dapat memberikan manfaat besar sekaligus menambah wawasan kita bersama dalam konteks penyempurnaan sistem ketatanegaraan Indonesia dan peningkatan kesadaran berkonstitusi warga negara,” harap Guntur.

Untuk diketahui, Hari Konstitusi Indonesia diperingati sehari setelah Hari Kemerdekaan RI 17 Agustus. Dilansir situs MPR RI, peringatan Hari Konstitusi RI ditetapkan berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 2008. Hari Konstitusi adalah momentum bersejarah dalam memperingati adanya sistem ketatanegaraan Indonesia, salah satunya UUD 1945 yang menjadi landasan hukum Indonesia.


Pada 18 Agustus 1945, Undang Undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945) disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Kemudian, untuk melaksanakan amanat Pasal IV Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar, tanggal 29 Agustus 1945 dibentuk Komite Nasional Pusat sebagai sebuah badan perwakilan yang menjadi cikal bakal dibentuknya Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Kedua peristiwa bersejarah setelah Proklamasi Kemerdekaan itu selalu diperingati sebagai Hari Konstitusi dan Hari Lahir MPR.(*)

Penulis: Utami Argawati/LA

Editor: Lulu Anjarsari P.

Source: Laman Mahkamah Konstitusi