MK Gelar FGD Monev Pelaksanaan Putusan MK

JAKARTA, HUMAS MKRI – Kegiatan Focus Group Discussion (FGD) kerja sama antara Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi (MK) dengan Fakultas Hukum (FH) Universitas Jember diselenggarakan secara hybrid pada 2-4 Oktober 2011. Para pakar dari berbagai perguruan tinggi, sejumlah pejabat dan pegawai MK, petinggi kampus maupun sivitas akademi hadir dalam kegiatan FGD bertema “Monitoring dan Evaluasi (Monev) Pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi Tahun 2021”

“Saya melihat kegiatan FGD ini sebagai langkah maju yang sangat baik. Ini sebagai pertanda positif bahwa pemikiran maupun hasil monev di berbagai tempat, mudah-mudahan akan terefleksi dari hasil monitoring yang akan kita laksanakan. Semoga kualitas monev semakin baik,” kata Sekretaris Jenderal MK M. Guntur Hamzah sebelum membuka resmi kegiatan FGD.

Komprehensif

Dikatakan Guntur, selain Putusan MK bersifat final dan mengikat serta bersifat erga omnes yang berlaku di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Putusan MK juga harus bisa dilaksanakan secara cepat dan langsung, tanpa menunggu ada lembaga yang mengeksekusi.

“Kita juga bisa menelisik, memonitoring lebih jauh apakah Putusan MK secara cepat langsung dilaksanakan setelah Hakim Konstitusi membacakan putusan. Ataukah masih ada penundaan pelaksanaan Putusan MK. Sebagai produk dan proses lembaga peradilan, Putusan MK serta merta dapat dilaksanakan dengan seketika,” ujar Guntur.

Guntur menambahkan, beberapa kriteria Putusan MK. Dari Putusan MK yang dilaksanakan secara penuh, Putusan MK yang dilaksanakan sebagian, hingga Putusan MK yang belum dilaksanakan. Kalau Putusan MK belum dilaksanakan, masih ada peluang untuk dilaksanakan ke depan.

“Hal ini kita gunakan sebagai cara kita memandang yang namanya monitoring Putusan MK. Tinggal kita meningkatkan sistem pelaporan terkait dengan laporan monev yang sementara ini sebetulnya sudah cukup komprehensif dan bagus,” ucap Guntur.

Tool Kepatuhan Terhadap Konstitusi

Selanjutnya, Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Widodo Ekatjahjana mengatakan bahwa kegiatan FGD ini bertujuan membahas sebanyak 9 (sembilan) undang-undang, yaitu UU Perseroan Terbatas, UU Jabatan Notaris, UU Komisi Yudisial, UU Pengadilan Pajak, UU Kehutanan, UU Pemerintahan Aceh, UU Praktik Kedokteran, UU Ketenagalistrikan, UU Pembentukan Peraturan Perundangan-undangan, yang akan dibagi dalam kelompok kerja (pokja) kegiatan FGD.

Widodo mencermati, instrumen monitoring dan evaluasi yang dimiliki Sekretariat Jenderal MK untuk melaksanakan fungsinya sudah cukup bagus. Meski beberapa waktu lalu ia pernah menyampaikan kepada MK agar instrumen ini supaya lebih diperkuat lagi. Penguatan ini dari narasumber Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kemenkumham, Direktur Hukum dan Regulasi Bappenas. Selain itu MK perlu juga mengundang narasumber dari Kemenpan RB.

“Kemenpan RB perlu kita libatkan karena selama ini Kemenpan RB yang memiliki instrumen atau tool agar kepatuhan terhadap WBK dan WBBM kepada instansi kelembagaan itu ada. Andaikan tool monitoring dan evaluasi pelaksanaan Putusan MK dirangkai tool yang dimiliki Kemenpan RB, maka saya menawarkan satu usulan bahwa salah satu indikator untuk memperoleh WBK dan WBBM pada kementerian/lembaga itu ditambah dengan tool kepatuhan terhadap Konstitusi, bukan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, bukan kepatuhan terhadap Putusan MK,” papar Widodo.

Hal tersebut menurut Widodo, sebagai usulan agar monitoring dan evaluasi pelaksanaan Putusan MK lebih mengikat dan efektif. Tetapi hal ini harus dengan standar dan kriteria-kriteria normatif yang harus jelas. Misalnya, seseorang dikatakan patuh atau tidak patuh terhadap Putusan MK, dan kapan suatu kementerian/lembaga itu patuh atau tidak patuh terhadap Putusan MK.

Menurut Widodo, monitoring dan evaluasi pelaksanaan Putusan MK merupakan salah satu instrumen untuk melihat efektivitas Putusan MK. Terutama untuk pengujian undang-undang, implikasi Putusan MK tidak hanya terhadap Pemohon maupun Pemerintah, namun juga mengikat pada semua pihak.

“Bahwa semua pihak harus melaksanakan ketentuan-ketentuan yang sudah diputuskan MK. Catatan saya, dalam praktiknya, ketika Putusan MK sudah diucapkan dan sudah dibaca oleh publik, maka di ruang inilah yang harus kita jaga bersama. Kesulitannya menjaga itu karena ruang ini adalah ruang interpretasi bebas. Tidak ada satu norma dalam Konstitusi maupun undang-undang yang memberikan batasan interpretasinya harus seperti ini,” tandas Widodo.

Terhadap hal yang disampaikan Widodo, terutama agar melibatkan Kemenpan RB terkait tool kepatuhan terhadap WBK dan WBBM, Guntur Hamzah merespons secara positif. Menurut Guntur, hal tersebut merupakan ide yang sangat menarik dan bermanfaat.  

Bermanfaat Bagi Masyarakat

Sementara itu Rektor Universitas Jember Iwan Taruna yang menyampaikan ucapan terima kasih kepada Mahkamah Konstitusi atas terselenggaranya acara ini serta kepada para pakar dan para peserta yang telah hadir dalam acara ini.

“FGD Monev Putusan MK  Tahun 2021 ini merupakan kegiatan yang sangat penting dan luar  biasa. Semoga kegiatan ini berjalan lancar, sukses, mencapai sesuai yang diinginkan. Kegiatan ini menjadi energi yang dikeluarkan oleh MK, dan menjadi energi yang bermanfaat bagi masyarakat. Pelaksanaan Putusan MK itu seperti apa,” ucap Iwan.

Sedangkan Dekan FH Universitas Jember, Bayu Dwi Anggono mengatakan bahwa kegiatan FGD menjadi silaturahmi intelektual dari para akademisi berbagai kampus di Indonesia.  
“Pikiran dari banyak akademisi, banyak perguruan tinggi, kita yakini akan meningkatkan output kualitas kegiatan FGD ini. Hasil Monev Triwulan II Tahun 2021 dengan melibatkan berbagai pakar, saya yakin outputnya akan meningkat,” tegas Bayu.

Latar Belakang Pentingnya Monev

Dalam FGD ini Guntur Hamzah menjadi narasumber yang menyampaikan materi “FGD Monitoring Pelaksanaan Putusan MK”. Dijelaskan Guntur, UUD 1945 merupakan hukum tertinggi di Indonesia. Kedudukan UUD 1945 sebagai hukum tertinggi itu menunjukkan bahwa Indonesia menganut supremasi konstitusi sehingga tidak boleh ada peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan UUD 1945.

“Mematuhi konstitusi, selain berarti mematuhi setiap norma ketentuannya,  juga mematuhi setiap putusan lembaga yang mengawalnya, yakni Mahkamah Konstitusi. Konsekuensinya, setiap lembaga penyelenggara negara dan segenap warga negara wajib melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi,” jelas Guntur.

Lebih lanjut Guntur menerangkan latar belakang pentingnya monev. Bahwa pihak-pihak yang terikat dalam melaksanakan Putusan MK tidak hanya pembentuk undang-undang yaitu Pemerintah dan DPR, melainkan seluruh pihak yang terkait dengan pelaksanaan ketentuan undang-undang yang diputus MK (erga omnes). Karena itulah perlu dilakukan monev Putusan MK.

Berikutnya, Guntur mengungkap bahwa MK telah melakukan Kegiatan Monev Putusan MK Tahun 2021 yang meliputi Triwulan I dengan 21 (dua puluh satu) Putusan MK terkait pengujian sejumlah 8 (delapan) undang-undang. Kemudian pada Triwulan II dengan 19 (sembilan belas) Putusan MK terkait pengujian sejumlah 9 (sembilan) undang-undang.

Hasil Monev Triwulan I Tahun 2021 yang dilakukan MK, putusan yang ditindaklanjuti seluruhnya adalah 17 putusan. Sedangkan putusan yang ditindaklanjuti sebagian adalah 3 putusan. Kemudian putusan yang tidak ditindaklanjuti adalah 1 putusan. Selanjutnya Hasil Monev Triwulan II Tahun 2021 (yang saat ini dilakukan FGD), putusan yang ditindaklanjuti seluruhnya adalah 12 putusan. Kemudian putusan yang ditindaklanjuti sebagian adalah 5 putusan. Selebihnya, putusan yang tidak ditindaklanjuti sebanyak 2 putusan.

Menurut Guntur, kegiatan FGD ini menjadi hal penting untuk mengetahui sejauhmana Putusan MK benar-benar dapat dilaksanakan di masyarakat. Pandangan dan pemikiran para pakar selaku narasumber FGD menjadi masukan bagi MK. Bahwa MK dapat mendesain bentuk strategi pelaksanaan putusan MK yang perlu dilakukan. Di antaranya, dengan melakukan monev pelaksanaan Putusan MK yang sudah dilakukan beberapa kali.

Peran Pemerintah

Narasumber berikutnya, Direktur Litigasi Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Liestiarini Wulandari memaparkan bahwa peran Pemerintah maupun DPR dalam pengujian undang-undang di MK adalah selaku Pemberi Keterangan.

“Peran Pemerintah dalam UU No. 24 Tahun 2003 sebagaimana diubah dengan UU No. 7 Tahun 2020 tentang Mahkamah Konstitusi, dijelaskan bahwa Mahkamah Konstitusi dapat meminta keterangan dan/atau risalah rapat yang berkenaan dengan permohonan yang sedang diperiksa kepada MPR, DPR, DPD dan/atau Presiden,” ungkap Liestiarini.

Namun demikian, sambung Liestiarini, dalam hal Mahkamah Konstitusi tidak dalam urgensi atau relevansi untuk mendengarkan keterangan pihak-pihak sebagaimana disebut dalam Pasal 54 UU MK, keterangan tersebut tidak dimintakan kepada Presiden maupun pihak-pihak tersebut. Sedangkan fungsi pemerintah dalam pengujian undang-undang adalah memberikan keterangan dalam pokok permohonan. Hal ini disebutkan dalam Pasal 1 angka 2 Peraturan Presiden No. 100 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi dan Peraturan Perundang-undangan Di bawah Undang-Undang di Mahkamah Agung.(*)

Penulis: Nano Tresna Arfana

Editor: Lulu Anjarsari P

 

 

 

Source: Laman Mahkamah Konstitusi