Bahas Putusan MK Terkait Energi dan Sistem Informasi dalam ICEEP UNS 2021

JAKARTA, HUMAS MKRI - Sekretaris Jenderal MK M. Guntur Hamzah menjadi pembicara kunci dalam The International Conference on Environmental and Energy Policy (ICEEP) 2021 yang diselenggarakan oleh Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS) pada Sabtu (11/9/2021) secara daring. Konferensi berskala internasional ini mengangkat tema “Strengthening Policy Planning and Implementation of Energy, Environment, Epidemiology and Information System as a Respond to Industrial Revolution 4.0”.

Dalam konferensi ini, Guntur mengetengahkan substansi dari beberapa putusan MK yang berkaitan dengan energi, lingkungan, epidemologi, dan sistem informasi. Guntur menyebutkan bahwa konstitusi Indonesia memuat berbagai ketentuan tentang sumber daya energi, lingkungan, dan ssitem informasi. Sebut saja, Pasal 33 UUD 1945 yang memuat ketentuan tentang energi dan lingkungan. Kemudian terkait dengan epidemologi dan kesehatan, tercantum dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 34 ayat (3) UUD 1945.  Sementara itu, terkait dengan sistem informasi dan teknologi, terdapat di dalam UUD 1945 yakni Pasal 28C ayat (1) dan Pasal 31 ayat (5) UUD 1945.

Berdasarkan ketentuan-ketentuan yang ada pada konstitusi tersebut, Guntur melihat bahwa seluruh peraturan perundang-undangan dan segala kebijakan serta keputusan yang dibuat oleh pemerintah, wajib sejalan dan tidak boleh bertentangan dengan pasal-pasal yang ada pada konstitusi. Sebagai contoh kasus, ia menyebutkan Putusan MK yang pernah membatalkan Undang-Undang Ketenagalistrikan. Dalam putusan tersebut MK menilai secara keseluruhan substansi dari Undang-Undang tersebut sarat dengan sistem privatisasi melalui penerapan kompetisi unbundling sehingga dinyatakan bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945.

Dalam pertimbangan hukum pada perkara ini, jelas Guntur, Mahkamah Konstitusi memberikan pedoman konstitusional dengan menegaskan bahwa negara dapat melakukan lima hal dalam penguasaan terhadap cabang-cabang produksi, khususnya terhadap sumber energi di Indonesia. Yakni, pengaturanpengelolaan, kebijakan, pengurusan, dan pengawasan. Kemudian putusan ini menjadi yurisprudensi bagi Mahkamah Konstitusi dalam memutuskan perkara-perkara sejenis di bidang sumber daya energi. Selain itu, Guntur juga menyebutkan Putusan MK dalam perkara pengujian undang-undang di bidang lingkungan hidup, seperti Undang-Undang Kehutanan, Undang-Undang Perkebunan, Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta Undang-Undang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

“Dalam beberapa putusan-putusan tersebut, selain memberikan pertimbangan hukum yang berpihak pada kelestarian lingkungan hidup, Mahkamah Konstitusi juga berupaya untuk mempertahankan eksistensi dan hak-hak masyarakat adat yang bersifat turun-temurun, di mana mereka telah hidup secara harmonis dan berdampingan dengan lingkungan dan alam di Indonesia,” jelas Guntur dalam kegiatan yang juga dihadiri secara daring oleh I Gusti Ayu Ketut Rachmi Handayani dari Universitas Sebelas Maret.

 

Putusan Terkait IT

Berikutnya, Guntur juga mengungkapkan perkara pengujian undang-undang yang diajukan ke MK yang berkaitan dengan sistem informasi dan teknologi. Misalnya, pengujian Undang-Undang Pemerintahan Daerah terkait penggunaan e-Voting dan e-Counting untuk Pemilihan Kepala Daerah; pengujian Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan terkait dengan penggunaan Global Positioning System (GPS) dalam berkendara; dan pengujian Undang-Undang Perlindungan Konsumen berkaitan dengan penggunaan uang elektronik (e-Money). Dalam putusan-putusan tersebut, sampai Guntur, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum dengan menunjukkan dukungan terhadap penerapan teknologi maju dengan membolehkannya penggunaan e-Voting, GPS, dan e-Money dalam bidangnya masing-masing.

“Artinya, putusan-putusan Mahkamah Konstitusi juga sejalan dengan misi yang dimiliknya, yaitu untuk mewujudkan pengadilan yang modern,” jelas Guntur dalam paparannya yang berjudul “The Role of the Constitutional Court in Strengthening Energy, Environment, Epidemiology and Information Systems as a Response to Industrial Revolution 4.0.”

Selanjutnya berkaitan dengan epidemiologi, sambung Guntur, MK juga pernah melakukan sidang terhadap pengujian Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan. Dalam perkara ini, para Pemohon mempersoalkan kebijakan pemerintah yang menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang mengakibatkan terbatasnya ruang gerak masyarakat untuk berpergian. Para Pemohon berpendapat bahwa kebijakan tersebut dinilai tidak tepat sasaran dan dianggap merugikan hak konstitusional pihaknya selaku advokat karena tidak dapat mengikuti persidangan di peradilan umum. Terhadap perkara ini, Mahkamah Konstitusi memutuskan tidak menerima permohonan tersebut. Sebab, para Pemohon dinilai tidak dapat menerangkan kerugian konstitusionalnya secara jelas, baik yang bersifat aktual maupun potensial.

Akselerasi ICT di MK

Berkaitan dengan Revolusi Industri 4.0., diakui oleh Guntur bahwa pandemi COVID-19 telah mengakibatkan terhambatnya proses persidangan di berbagai lembaga peradilan, namun hal tersebut tidak terjadi di Mahkamah Konstitusi. Karena jauh sebelum terjadinya pandemi COVID-19, Mahkamah Konstitusi telah terbiasa menerapkan proses persidangan jarak jauh dengan menggunakan teknologi video conference. Bahkan, sambungnya, MK telah bekerja sama dengan 42 Universitas di seluruh provinsi di Indonesia guna menyediakan peralatan video conference dan mini court room. Hal ini agar memudahkan para pihak dalam berperkara sehingga tidak perlu datang ke Gedung Mahkamah Konstitusi di Jakarta.

“Pandemi ini telah memaksa dan mengakselerasi para pihak yang berperkara di MK untuk beradaptasi menggunakan sistem ICT yang telah dipersiapkan oleh MK sejak lama. Hal ini terbukti dengan naiknya jumlah dan persentase permohonan perkara yang diajukan secara online menggunakan aplikasi electronic filling. Begitu pula dengan proses persidangannya, hampir seluruh persidangan dilakukan secara online melalui video conference dengan menggunakan aplikasi Zoom,” kata Guntur.

Pada konferensi berskala internasional ini juga dihadirkan beberapa pembicara dari negara-negara sahabat, di antaranya Jaco Barkhuizen dari Universitas Limpopo, Afrika Selatan; Mohd. Rizal Palil dari Universitas Nasional Malaysia; Anis H. Bajrektarevik dari Hukum Internasional dan Studi Kebijakan Global Austria; Anna Copeland dari Universitas Murdoch Australia, serta Hillaire Tegnan dari William and Mary Law School Amerika Serikat.(*)

Penulis : Sri Pujianti

Editor: Lulu Anjarsari P

 

Source: Laman Mahkamah Konstitusi