Peran MK Sebagai Peradilan Konstitusi

JAKARTA, HUMAS MKRI - Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi (Sekjen MK) M. Guntur Hamzah memberikan ceramah kunci sekaligus membuka kegiatan Constitutional Law Festival 2021, pada Sabtu (4/9/2021) pagi. Kegiatan tersebut merupakan kerja sama MK dan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (FH UB).

Mengawali sambutannya, Guntur mengatakan bahwa ia mewakili MK menyambut gembira dan memberikan apresiasi atas penyelenggaraan Constitutional Law Festival 2021. “Atas nama Mahkamah Konstitusi, saya menyambut gembira dan memberikan apresiasi atas penyelenggaraan Constitutional Law Festival tahun ini,” ungkap Guntur dalam kegiatan yang juga dihadiri oleh Dekan FH UB Muchammad Ali Safa’at.

Guntur mengatakan kegiatan tersebut merupakan sejalan dengan misi MK untuk meningkatkan kesadaran berkonstitusi warga negara. Selain itu, kegiatan ini juga merupakan cerminan nyata niat dan kehendak mulia dari komunitas atau masyarakat akademik, terutama Pimpinan dan civitas akademika Fakultas Hukum Brawijaya, untuk terus berupaya menjaga atmosfer dan kultur akademik, membudayakan kompetisi yang positif, sekaligus mewujudkan pola pikir dan pola tindak mahasiswa yang berbasis pada kesadaran dan pemahaman akan nilai-nilai konstitusi.

Dalam ceramah kuncinya, Guntur menjelaskan bahwa dalam skema peradilan konstitusi sebagai instrumen untuk menegakkan nilai-nilai konstitusi sesuai dengan Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945, MK menjalankan fungsi menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan konstitusi melalui pelaksanaan tugas dan kewenangan konstitusional.

Konstitusi, Hukum Tertinggi

Lebih lanjut Guntur mengatakan, konstitusi adalah hukum, bahkan hukum tertinggi dalam konteks bernegara (the supreme law of the land). Tujuan konstitusi tersebut lekat dengan tujuan negara yakni mencapai dan mewujudkan keadilan,  ketertiban, dan perwujudan nilai-nilai ideal seperti kemerdekaan atau kebebasan dan kesejahteraan atau kemakmuran bersama, sebagaimana terdapat pada rumusan tujuan bernegara di dalam Pembukaan UUD 1945. Dengan adanya pemahaman demikian, konstitusi berposisi sebagai norma ideal yang paling tinggi tingkatannya.

Oleh sebab itu, Guntur melanjutkan, MK mendayagunakan seluruh daya upaya dan sumber daya yang dimiliki untuk mencapai dan mewujudkan keadilan konstitusional. Dengan kata lain, keadilan konstitusional itu keadilan yang sejalan dengan nilai-nilai dan prinsip-prinsip konstitusi serta UUD 1945 yang digali dan di-ijtihad-kan sedemikian rupa melalui rangkaian proses peradilan yang transparan dan adil.

“Untuk dapat mewujudkan keadilan konstitusional tersebut, dalam perkara pengujian Undang-Undang misalnya, otoritas untuk menentukan substansi Undang-Undang diamanatkan kepada MK. Dengan kata lain, sebagai the final interpreter of the Constitution, MK menjadi lembaga yang paling berwenang dan merdeka untuk menetapkan apa yang dikehendaki oleh UUD 1945, baik pada masa sekarang maupun di masa mendatang.

Selain itu, menurut Guntur, MK memiliki keleluasaan memilih dan menggunakan metode penafsiran konstitusi guna memberikan jawaban dan solusi konstitusional atas dalil atau pertanyaan berkenaan dengan makna hukum (norma Undang-Undang), termasuk makna ketentuan atau norma konstitusi.

“Yang pasti, Mahkamah Konstitusi mendudukkan Undang-Undang Dasar 1945 yang memuat nilai-nilai, visi, tujuan, dan kosmologi bangsa Indonesia sebagai pemberi perspektif utama, termasuk menjadikan Undang-Undang Dasar  1945 sebagai “konstitusi yang hidup” sehingga benar-benar menjadi ideologi, kaidah, panduan, serta arah dan orientasi berhukum dan bernegara secara berkeadilan,” jelas Guntur.

Alur Penyelesaian Perkara

Pada kesempatan tersebut, Guntur juga menjelaskan bahwa seluruh proses penanganan dan penyelesaian perkara yang berujung pada pada putusan dilandasi oleh prosedur serta hukum acara yang berlaku dan satu satu kesatuan proses berpikir Hakim Konstitusi dengan menggunakan metode interpretasi konstitusi yang dapat dipertanggungjawabkan menurut hukum dan ilmu hukum.

Menurut Guntur, MK menjatuhkan putusan terhadap semua perkara dengan pertimbangan hukum dikonstruksi dari proses pendayagunaan pengetahuan hukum hakim konstitusi penalaran-penalaran yang berlandaskan filsafat dan teori hukum dengan menggunakan logika dan perspektif UUD 1945. Dengan demikian putusan dapat dipahami dan diterima oleh bagi para pencari keadilan pada khususnya, dan masyarakat pada umumnya.

Guntur mengatakan, MK acapkali terbukti menempuh cara dan langkah tegas untuk menghilangkan hambatan ketidakadilan. “Sebagai contoh, jelas Guntur, di dalam Undang-Undang Mahkamah Konstitusi diatur mengenai tiga jenis amar putusan, yaitu ditolak, tidak dapat diterima, dan dikabulkan. Dalam perkembangan praktik mengadili perkara, ketiga jenis amar putusan dipandang belum dapat mewujudkan keadilan konstitusional,” ujar Guntur

Guntur pun menegaskan bahwa tidak semua perkara dapat dijawab tuntas hanya dengan memilih salah satu dari tiga jenis amar putusan dimaksud. Oleh sebab itu, dalam beberapa putusan, untuk memastikan keadilan konstitusional dapat diwujudkan, dalam banyak putusan, MK mengadaptasi varian amar putusan lain, yakni konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) dan inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional). Suatu norma dapat dinyatakan conditionally unconstitutional oleh MK salah satunya karena penerapannya justru tidak menjamin hak konstitusional. Padahal, doktrin constitutional judicial review berkutat pada apakah norma yang diuji itu bertentangan atau tidak dengan konstitusi. Demikian pula, dalam sejumlah putusan lain.

Ultra Petita

Menurut Guntur, MK seringkali menghadapi situasi keharusan untuk memutus perkara secara ultra petita atau memutus melebihi apa yang diminta oleh Pemohon dalam petitum permohonan. Hal itu dilakukan bukan tanpa argumentasi yang kuat. Hal itu dilakukan justru untuk membuktikan bahwa pengujian konstitusional bukan sekedar menguji menyatakan suatu norma Undang-Undang yang diuji itu konstitusional atau tidak, tetapi lebih dari itu, untuk mencapai tujuan konstitusi yang lebih besar dalam kerangka MK sebagai the guardian of the moral constitution and the protector of constitutional rights.

Dalam memutus secara ultra petita, sambung Guntur, MK sempat mendapatkan tentangan. Salah satu tentangan yakni dengan adanya pencantuman larangan memutus ultra petita dalam UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Undang-Undang MK. Namun dalam perkembangan, norma larangan memutus ultra petita itu kemudian dinyatakan inkonstitusional ketika diuji ke MK.

“Putusan ultra petita dipandang perlu sebagai suatu keniscayaan dilakukan Mahkamah Konstitusi dalam kondisi-kondisi tertentu untuk dapat mewujudkan keadilan konstitusional,” jelas Guntur.

Terlebih lagi, dalam hampir setiap permohonan, Pemohon dalam perkara pengujian Undang-Undang, selalu dimuat kalimat Jika Mahkamah Konstitusi memutus lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex a quo et bono). Hal ini menunjukkan bahwa dalam perkara pengujian UU, masing-masing pihak telah mempercayakan kepada MK untuk mengadili sengketanya, termasuk menyerahkan sepenuhnya apapun putusannya.

Konsekuensi dari penyerahan dan kepercayaan tersebut, maka pihak-pihak yang berperkara wajib untuk menaati apapun putusan Mahkamah Konstitusi, termasuk jika MK memiliki atau menggunakan tolok ukur keadilan yang berbeda dengan para pemohon atau para pihak lainnya. Pada titik inilah, upaya MK mewujudkan keadilan konstitusional menjadi sangat terbuka, dan bahkan harus dilakukan. (*)

Penulis: Utami Argawati

Editor: Lulu Anjarsari P

Source: Laman Mahkamah Konstitusi