Sekjen MK: Pengujian Undang-Undang, Inti Bisnis MK

JAKARTA, HUMAS MKRI - Pengujian Undang-Undang (PUU) atau dikenal dengan judicial review, merupakan inti bisnis (core business) dari Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai lembaga peradilan. Hal ini disampaikan oleh Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi (Sekjen MK) M. Guntur Hamzah saat menjadi narasumber dalam kegiatan Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) pada Sabtu (20/3/2021) yang diselenggarakan secara daring.

Kegiatan tersebut merupakan hasil kerja sama MK dengan DPC Peradi Jember dan Fakultas Hukum Universitas Jember. Guntur secara daring menyampaikan materi “Mahkamah Konstitusi dan Hukum Acara Pengujian Undang-Undang”.

“Pengujian undang-undang merupakan core business MK. Jika berbicara tentang MK, maka berbicara tentang pengujian undang-undang,” ucap Guntur.

Terkait hal tersebut, Guntur menyebut objek PUU di MK dapat dilakukan terhadap seluruh undang-undang. Indonesia menganut sistem peraturan perundang-undangan yang hierarkis atau perjenjangan peraturan perundang-undangan.

“Peraturan perundangan yang tertinggi adalah UUD 1945. Kedua adalah TAP MPR. Kemudian, undang-undang atau Perpu. Di bawah undang-undang/perpu, ada peraturan pemerintah. Jika berbicara tentang undang-undang maka terkait produk dari Presiden dan DPR,” jelas Guntur.

Menurut Guntur, advokat penting mengetahui perjenjangan peraturan perundangan dikarenakan terkait dengan objek permohonan ke MK. “Pengujian UU di MK di level undang-undang atau perpu. Kemudian di bawah undang-undang, pengujiannya di Mahkamah Agung. Sehingga hierarki ini perlu diketahui,” ujar Guntur.

Jenis Pengujian

Guntur pun menyebut dua jenis PUU, yakni pengujian materiil dan formil. Pengujian materiil, lanjutnya, berkaitan dengan substansi norma undang-undang dan tidak dikenal batas waktu.

“Sementara pengujian formil, berkaitan dengan prosedur pembentukan undang-undang. Jadi, proses pembentukan dan syarat-syarat pembentukannya apakah sudah sesuai dengan pembentukan undang-undang? Dan dibatasi waktu 45 hari sejak undang-undang terbentuk,” urai Guntur.

Terkait Pemohon, ada beberapa kriteria, yakni Pemohon prinsipal harus warga negara Indonesia. Prinsipal yang berkaitan langsung dalam substansi permohonan, dan ada pemohon kuasa atau pemberi kuasa.

“Saat ini, hanya warga negara, ke depannya apakah bisa WNA? Tergantung pada perkembangan ke depan,” ujarnya.

Karakteristik Putusan MK

Dalam kesempatan itu, Guntur juga bertutur mengenai sembilan karakteristik putusan MK. Karakteristik tersebut, yakni ad celeritatem iudicii (speedy trial); ius curia novit; audi et alteram partum; praeter omne rationabile dubium; exceed the requested (ultra petita); finis illorium et ligatio; erga omnes; ex nunc, ex tunc; dan non executio per se. Karakteristikputusan MK ad celeritatem iudicii (speedy trial) yakni dalam persidangan dengan cepat.

“Kewenangan di MK diatur batas waktu penyelesaian kecuali pengujian undang-undang,” ujarnya.

Karakteristik lainnya, sambung Guntur, adalah ius curia novit atau hakim dianggap mengetahui semua hukum sehingga pengadilan tidak boleh menolak memeriksa dan mengadili perkara. “MK tidak boleh menolak perkara yang diajukan oleh masyarakat dan harus mengadili perkara,” ujarnya.

Selanjutnya, Guntur menyebut karakteristik audi et alteram partum, bahwa dalam sidang pengujian MK harus mendengarkan kedua belah pihak. “Ini adalah asas yang pada prinsipnya yang dicari di MK bukanlah kebenaran formal, melainkan kebenaran materiil,” ucap Guntur.

Dalam kesempatan itu, Guntur juga menyampaikan 4 (empat) kewenangan MK dan tambahan 1 (satu) kewenangan lainnya sebagaimana diatur dalam UUD 1945. MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar; memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar; memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; serta MK  wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar. Pelanggaran dimaksud sebagaimana disebutkan dan diatur dalam ketentuan Pasal 7A UUD 1945, yaitu melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

“Namun hanya tiga kewenangan yang sudah dilakukan MK. Dua kewenangan lainnya sejak MK berdiri belum pernah memutus pembubaran parpol dan memberi putusan tentang pelanggaran presiden kepada DPR atau pemakzulan. Kemudian MK memiliki kewenangan tambahan tentang memutus sengketa hasil pemilihan kepala daerah yang diamanatkan UU 10/2016,” tandas Guntur. (*)

Penulis: Lulu Anjarsari P.

Editor: Nur R.

Source: Laman Mahkamah Konstitusi